Kamis, 19 Desember 2013

IMUNISASI



  Pengertian dan Tujuan Imunisasi.
Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adlah suatu obat yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibody. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit (Theophilus, 2007).

Imunisasi adalah suatu cara untuk memberikan kekebalan kepada seseorang secara Aktif terhadap penyakit menular (Mansjoer, 2000). Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terkena antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit (Ranuh,2008).
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten, jadi imunisasi adalah cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan. Sedangkan imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan (Depkes RI, 2005). Imunisasi dasar lengkap menurut Ranuh dkk (2001), adalah pemberian imunisasi BCG 1x, Hepatitis B 3x DPT 3x, polio 4x dan campak 1x sebelum bayi berusia 1 tahun.
Tujuan dari pemberian imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar (Ranuh dkk, 2011). Memberi kekebalan pada bayi dan anak dengan maksud menureunkan kematian dan kesakitan serta mencegah akibat buruk lebih lanjut dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

 Respon Imun pada Imunisasi
Pemberian vaksin sama dengan pemberian antigen pada tubuh. Jika terpajan oleh antigen, baik secara alamiah maupun melalui pemberian vaksin, tubuh akan bereaksi untuk menghilangkan antigen tersebut melalui sistem imun. Secara umum, sistem imun dibagi menjadi 2, yaitu sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik.
1.    Sistem imun non-spesifik
Sistem imun non-spesifik merupakan mekanisme pertahanan alamiah yang dibawa sejak lahir (innate) dan dapat ditujukan untuk berbagai macam agen infeksi atau antigen. Sistem imun non-spesifik meliputi kulit, membran mukosa, sel-sel fagosit, komplemen, lisozim, dan interferon. Sistem imun ini merupakan garis pertahanan pertama yang harus dihadapi oleh agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh. Jika sistem imun non-spesifik tidak berhasil menghilangkan antigen, barulah sistem imun spesifik berperan.
2.    Sistem imun spesifik
Sistem imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan adaptif yang didapatkan selama kehidupan dan ditujukan khusus untuk satu jenis antigen. Sistem imun spesifik diperankan oleh sel T dan sel B. Pertahanan oleh sel T dikenal sebagai imunitas selular, sedangkan pertahanan oleh sel B dikenal sebagai imunitas humoral. Imunitas seluler berperan melawan antigen di dalam sel (intrasel), sedangkan imunitas humoral berperan melawan antigen di luar sel (ekstrasel). Dalam pemberian vaksin, sistem imun spesifik inilah yang berperan untuk memberikan kekebalan terhadap satu jenis agen infeksi, melalui mekanisme memori.
Di dalam kelenjar getah bening terdapat sel T naif, yaitu sel T yang belum pernah terpajan oleh antigen. Jika terpajan antigen, sel T naif akan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori. Sel efektor akan bermigrasi ke tempat-tempat infeksi dan mengeliminasi antigen, sedangkan sel memori akan berada di organ limfoid untuk kemudian berperan jika terjadi pajanan antigen yang sama. Sel B, jika terpajan oleh antigen, akan mengalami transformasi, proliferasi dan diferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi antibodi. Antibodi akan menetralkan antigen sehingga kemampuan menginfeksinya hilang.
Proliferasi dan diferensiasi sel B tidak hanya menjadi sel plasma tetapi juga sebagian akan menjadi sel B memori. Sel B memori akan berada dalam sirkulasi. Bila sel B memori terpajan pada antigen serupa, akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dan akan menghasilkan antibodi yang lebih banyak. Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan antigen pada pajanan yang kedua. Artinya, jika seseorang yang sudah divaksinasi (artinya sudah pernah terpajan oleh antigen) terinfeksi atau terpajan oleh antigen yang sama, akan lebih mudah bagi sistem imun untuk mengenali antigen tersebut. Selain itu, respon imun pada pajanan yang kedua (respon imun sekunder) lebih baik daripada respon imun pada pajanan antigen yang pertama (respon imun primer). Sel T dan sel B yang terlibat lebih banyak, pembentukan antibodi lebih cepat dan bertahan lebih lama, titer antibodi lebih banyak (terutama IgG) dan afinitasnya lebih tinggi. Dengan demikian, diharapkan sesorang yang sudah pernah divaksinasi tidak akan mengalami penyakit akibat pajanan antigen yang sama karena sistem imunnya memiliki kemampuan yang lebih dibanding mereka yang tidak divaksinasi. (Yusie, 2009)

Jenis-Jenis Imunitas dan Imunisasi
Menurut (Muscari, Mary E. 2005), jenis imunitas terdiri dari:
1.      Aktif didapat secara alami. System kekebalan membuat antibody setelah terpajan penyakit.
2.      Pasif didapat secara alami. Antibody terhadap penyakit didapat secara pasif dan alamiah (mis., melalui plasenta dan kolostrum).
3.      Aktif didapat secara buatan. Diberikan atau diinjeksikan secara medis substansi yang menstimulasi respons imun melawan penyakit tertentu.
4.      Pasif didapat secara buatan. Antibodi diinjeksikan untuk memberikan kekebalan tanpa menstimulasi respons imun.

Menurut (Muscari, Mary E. 2005), jenis imunisasi terdiri dari:
1)      Kuman yang dilemahkan
a.       Kuman pathogen diberikan zat-zat kimia atau panas untuk mengurangi virulensinya, tetapi tidak membunuh organism tersebut.
b.      Contoh-contoh dari imunitas ini antara lain vaksin campak, gondong, rubella (MMR, measles,mumps, rubella) dan vaksin polio oral (OPV, Sabin).
2)      Kuman terinaktivasi
a.       Toksoid (misal. Tetanus, difteri) merupakan bakteri eksotoksin yang telah dilumpuhkan dengan formalin atau panas sehingga membentuk agens nontoksik (terinaktivasi), tetapi masih tetap antigen.
b.      Vaksin virus terinaktivasi (misal virus polio terinaktivasi [IPV, Salk], pertunis, Hib, HB) dipakai untuk membunuh organism virus, atau bagian-bagian organisme, untuk menghasilkan kekebalan.
3)      Imunoglobin
a.       Imunoglobin (IG) atau immunoglobulin intravena (IVIG, intravenous immune globulin) merupakan larutan yang mengandung antibody dari kumpulan besar plasma darah manusia. Imunoglobulin terutama digunakan untuk mempertahankan kekebalan individu yang mengalami defisiensi si imun dan untuk imunitas pasif melawan campak dan hepatitis A.
b.      Imunoglobulin spesifik merupakan preparat khusus yang diperoleh dari praseleksi kumpulan donor dengan kandungan tinggi antibody untuk melawan antigen spesifik. Sebagai contoh termasuk immunoglobulin varisela-zoster, immunoglobulin hepatitis B, immunoglobulin tetanus, dan immunoglobulin virus sinsitial pernapasan (RSP, respiratory syncytial virus, atau Respigram).
c.       Kontraindikasi pengguna meliputi hipersensitivitas, belum ada kepastian aman bagi kehamilan.
d.      Efek sampingnya termasuk nyeri, nyeri tekan, kekakuan otot pada satu sisi, dan kemungkinan reaksi sistemik seperti sakit kepala, nyeri dada, pusing, seperti mau pingsan (light headedness), mual, urtikaria, dan arthralgia (Muscari, Mary E. 2005).

 Hal-Hal yang perlu diperhatikan dalam imunisasi
1.    Tata Cara Pemberian Imunisasi
Program imunisasi menuntut suatu mutu pelayanan yang berkualitas untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dari imunisasi. Program imunisasi harus memperhatikan prosedur pemberian imunisasi yang benar. Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin, mempersiapkan anak dan orang tua, tekhnik penyuntikan yang aman, pencatatan, pembuangan limbah, serta tekhnik penyimpanan dan penggunaan vaksin yang benar.
Dengan prosedur yanng baik dan benar, maka diharapkan akan diperoleh kekebalan yang optimal, penyuntikan yang aman, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang minimal, serta pengetahuan dan kepatuhan orang tua terhadap jadwal-jadwal imunisasi.
Sebelum memulai proses imunisasi, menurut Yusie, 2009 dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut :
a.    Memberitahukan secara rinci mengenai resiko imunisasi dan resiko apabila tidak melakukan imunisasi.
b.    Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya apabila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
c.    Baca dengan teliti informasi mengenai apa yang diberikan dan juga perlu mendapatkan persetujuan dari orang tua.
d.   Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra  terhadap vaksin yang akan diberikan
e.    Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik apabila diperlukan.
f.     Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.
g.    vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal kadaluarsa dan adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
h.    Vaksin yang diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal apabila diperlukan.
i.      Berikan vaksin dengan tekhnik yang benar. Hal ini meliputi pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan dan posisi penerima vaksin.

2. Prosedur imunisasi
a.    Sebelum imunisasi
1)   Penyimpanan dan transportasi vaksin (rantai vaksin)
Vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin inaktif yang memiliki ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perubahan suhu. Maka dari itu perlu diperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjamin potensinya ketika diberikan kepada seorang anak. Apabila syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan, maka vaksin mudah rusak atau kehilangan potensinya untuk merangsang kekebalan tubuh, bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu dan pemahaman rantai vaksin (cold chain). Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai dengan prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di kamar beku, di lemari es, di dalam alat pembawa vaksin, pentingnya alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu.
Secara umum, semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2°C sampai dengan +8°C. Diatas suhu +8°C, vaksin hidup akan cepat mati. Vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam waktu 7 hari. Vaksin polio oral yang belum dibuka dapat bertahan lebih lama jika disimpan pada suhu ­25°C sampai ­15°C, namun hanya bertahan selama 6 bulan pada suhu +2°C sampai dengan +8°C. Berbeda dengan vaksin BCG dan campak, walaupun kedua vaksin ini disimpan di tempat dengan suhu yang lebih rendah, umur vaksin tersebut tidak lebih lama, BCG tetap 1 tahun dan campak 2 tahun. Maka dari itu, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan pada suhu ­25°C sampai dengan ­15°C. Vaksin inaktif sebaiknya disimpan pada suhu +2°C sampai dengan +8°C. Pada suhu dibawah +2°C (beku) vaksin inaktif akan cepat rusak dan akan bertahan lebih lama apabila vaksin inaktif ditempatkan pada suhu diatas +8°C. Vaksin DPT, DT, dan TT akan rusak dalam waktu 1,5 – 2 jam apabila dibekukan dalam suhu ­5°C sampai ­10°C tetapi dapat bertahan hingga 14 hari dalam suhu diatas +8°C (Yusie, 2009).
2)   Kualitas vaksin
Syarat vaksin yang baik antara lain : disimpan di dalam lemari pendingin atau freezer dalam suhu tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau termos yang tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, dan belum melewati tanggal kadaluarsa. Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis untuk menilai stabilitas suatub vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila warnanya berubah menjadi pucat atau merah berarti pH nya telah berubah sehinggs tidak stabil dan tidak boleh diberikan kepada pasien. Vaksin toksoid, rekombinan, dan polisakarida berwarna putih jernih dan sedikit berkabut. Apabila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku dan tidak boleh digunakan karena sudah rusak (Yusie, 2009).



b.    Saat imunisasi
1)   Pengenceran vaksin
Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila vaksin telah diencerkan, harus diperiksa tanda-tanda kerusakan warna dan kejernihan. Jarum dengan ukuran 21 yang steril digunakan untuk mengencerkan dan jarum dengan ukuran 23 dengan panjang 25 mm digunakan menyuntikkan vaksin (Yusie, 2009).
2)   Pembersihan Kulit
a)    Tempat suntikan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan.
b)   Setelah dibersihkan, alkohol dan agen disinfektan lainnya menunggu sampai menguap sebelum melakukan injeksi vaksin karena apabila belum menguap, dapat menginaktivasi sediaan vaksin hidup. Air bersih juga dapat digunakan apabila agen pembersih lainnya tidak tersedia.
3)   Pemberian suntikan
Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuscular atau subkutan dalam. Kecuali Oral Polio Vaccine (OPV) yang diberikan secara peroral dan Bacille Calmete Guerin (BCG) yang diberikan dengan suntikan intradermal (dalam  kulit).
4)   Tekhnik Standar dan Ukuran Jarum
Petugas yang melaksanakan vaksinasi harus memahami tekhnik dasar dan petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi dan trauma akibat suntikan yang salah. Setiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum yang baru, sekali pakai dan steril. Tabung suntik an jarum yang sudah dipakai, harus dibuang dalam tempat tertutup yang diberi label tidak mudah robek dan bocor untuk menghindari luka tusukan dan pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
Standar jarum suntik berukuran 23 dengan panjang 25 mm. Akan tetapi, ada perkecualian antara lain :
a)    Bayi yang berumur kurang dari 1 bulan, umur 2 bulan atau yang lebih muda dan bayi-bayi kecil lainnya, digunakan jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm.
b)   Suntikan subkutan pada lengan atas, digunakan jarum ukuran 25 dengan panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil digunakan jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm.
c)    Suntikan intramuscular pada orang dewasa yang sangat gemuk digunakan jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm.
d)    Suntikan intradermal pada vaksinasi BCG digumakam jarum ukuran 25-27 dengan panjang 10 mm.
    
5)   Tempat suntikan yang dianjurkan
Pada anterolateral merupakan bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi dan anak-anak yang berumur di bawah 12 bulan. Sedangkan regio deltoid merupakan alternative untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar (yang sudah berjalan) dan orang dewasa.
a)    Suntikan Sub Kutan
Jaringan subkutan dapat ditemukan pada semua tubuh. Tempat yang biasanya untuk pemberian vaksin dengan cara ini adalah paha (untuk bayi kurang dari usia 12 bulan) dan otot deltoid (untuk orang yang usianya lebih dari 12 bulan). Berikut ini merupakan tahap cara penyuntikan sub kutan :
1.   Ikuti pedoman pemberian pengobatan standar untuk penilaian atau pemilihan tempat dan persiapan tempat
2.   Hindari penetrasi pada otot dengan menjepit ke atas jaringan lemak dan memasukkan jarum dengan sudut 45° dan memasukkan vaksin ke dalam jaringan
3.   Lepaskan jarum dan berikan tekanan yang ringan pada tempat injeksi untuk beberapa lama dengan bola kapas kering atau gauze (Snohomish, 2011)

a)    Suntikan intramuscular
Injeksi intramuskular diberikan ke dalam jaringan otot dibawah jaringan dermis dan subkutan. Meskipun ada beberapa tempat injeksi intramuscular pada tubuh, tempat yang dianjurkan untuk injeksi intramuscular untuk pemberian vaksin adalah otot deltoid (lengan atas) dan otot vastus lateralis (paha anterolateral). Tempat bergantung pada usia individu dan tingkat perkembangan otot. Untuk bayi kurang dari usia 12 bulan, otot vastus lateralis adalah tempat yang direkomendasikan untuk vaksinasi intramuscular (Snohomish, 2011).
Berikut ini merupakan tahap cara penyuntikan intramuscular :
1.   Ikuti pedoman standar pemberian medikasi untuk pemilihan dan persiapan tempat.
2.   Hindari injeksi ke dalam jaringan subkutan, regangkan kulit dengan ibu jari dan jari telunjuk, setelah itu isolasi otot. Teknik yang lain, paling banyak dipratekkan pada pasien anak dan orang tua adalah menggenggam jaringan dan mengangkat otot.
3.   Masukkan seluruh jarum ke dalam otot dengan sudut 90° dan masukkan vaksin ke dalam jaringan.
4.   Lepaskan jarum dan berikan tekanan ringan beberapa lama dengan bola kapas yang kering atau gauze (Snohomish, 2011).
 


Pemberian Imunisasi dan Kemasan Vaksin
Vaksin dapat dikemas dalam bentuk tunggal maupun kombinasi. Contoh kemasan vaksin tunggal : BCG, Polio, Hepatitis B, Hib, campak. Contoh kemasan vaksin kombinasi : DPT (Diptheri, Pertusis, Tetanus), MMR (campak, gondong, campak jerman), tetravaccine (kombinasi DPT dan polio suntik). Beberapa vaksin yang dikemas tunggal dapat diberikan bersamasama, aman dan proteksinya memuaskan, misalnya:
1) Vaksin BCG bersama cacar
2) Vaksin BCG bersama polio
3) Vaksin BCG bersama Hepatitis B
4) Vaksin DPT bersama BCG
5) Vaksin DPT bersama polio
6) Vaksin DPT bersama hepatitis B
7) Vaksin DPT bersama polio dan campak
8) Vaksin DPT bersama MMR
9) Vaksin campak bersama polio (Probandari, 2013)

1. Vaksin BCG
Vaksin BCG mengandung kuman BCG yang masih hidup namun telah dilemahkan.
Penyimpanan               :lemari es, suhu 2-8º C
Dosis                           :0.05 ml
Kemasan                       :sampul dengan bahan pelarut 4 ml (NaCl Faali)
Masa kadaluarsa           :satu tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat dilihat pada label)
Reaksi imunisasi          :biasanya tidak demam
Efek samping                :jarang dijumpai, bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah bening setempat yang terbatas dan biasanya menyem-buh sendiri walaupun lambat
Indikasi kontra              :tidak ada larangan, kecuali pada anak yang berpenyakit TBC atau uji mantoux positif dan adanya penyakit kulit berat/menahun (Probandari, 2013)
2. Vaksin DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus)
Negara Indonesia ada 3 jenis kemasan : kemasan tunggal khusus tetanus, kombinasi DT (diphteri tetanus) dan kombinasi DPT. Vaksin diphteri terbuat dari toksin kuman diphteri yang telah dilemahkan (toksoid), biasanya diolah dan dikemas bersama-sama dengan vaksin tetanus dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk vaksin DPT. Vaksin tetanus yang digunakan untuk imunisasi aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Ada tiga kemasan vaksin tetanus yaitu tunggal, kombinasi dengan diphteri dan kombinasi dengan diphteri dan pertusis. Vaksin pertusis terbuat dari kuman Bordetella pertusis yang telah dimatikan.
Penyimpanan               : lemari es, suhu 2-8º C
Dosis                           : 0.5 ml, tiga kali suntikan, interval minimal 4 mg
Kemasan                      : Vial 5 ml
Masa Kadaluarsa          : 2 tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat dilihat pada tabel)
Reaksi imunisasi           :demam ringan, pembengkakan dan nyeri di tempat suntikan selama 1-2 hari
Efek samping                :Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti lemas, demam, kemerahan pada tempat suntikan. Kadang-kadang terdapat efek samping yang lebih berat, seperti demam tinggi atau kejang, yang biasanya disebabkan unsur pertusisnya.
Indikasi kontra             :Anak yang sakit parah, anak yang menderita penyakit kejang demam kompleks, anak yang diduga menderita batuk rejan, anak yang menderita
penyakit gangguan kekebalan. Batuk, pilek, demam atau diare yang ringan bukan merupakan kotra indikasi yang mutlak, disesuaikan dengan pertimbangan dokter (Probandari, 2013).

3. Vaksin Poliomielitis
Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II dan III; yaitu (1) vaksin yang mengandung virus polio yang sudah dimatikan (salk), biasa diberikan dengan cara injeksi, (2) vaksin yang mengandung virus polio yang hidup tapi dilemahkan (sabin), cara pemberian per oral dalam bentuk pil atau cairan (OPV) lebih banyak dipakai di Indonesia.
Penyimpanan               : OPV : Freezer, suhu -20º C
Dosis                           : 2 tetes mulut
Kemasan                     : vial, disertai pipet tetes
Masa kadaluarsa          : OPV : dua tahun pada suhu -20°C
Reaksi imunisasi           :biasanya tidak ada, mungkin pada bayi ada berak-berak ringan
Efek samping                :hampir tidak ada, bila ada berupa kelumpuhan anggota gerak seperti polio sebenarnya.
Kontra Indikasi           : diare berat, sakit parah, gangguan kekebalan (Probandari, 2013).

4. Vaksin Campak
Mengandung vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Kemasan untuk program imunisasi dasar berbentuk kemasan kering tunggal. Namun ada vaksin dengan kemasan kering kombinasi dengan vaksin gondong/ mumps dan rubella (campak jerman) disebut MMR.
Penyimpanan             :Freezer, suhu -20º C
Dosis                          :setelah dilarutkan, diberikan 0.5 ml
Kemasan                     :vial berisi 10 dosis vaksin yang dibekukeringkan, beserta pelarut 5 ml (aquadest)
Masa kadaluarsa          :2 tahun setelah tanggal pengeluaran (dapat dilihat
pada label)
Reaksi imunisasi          :biasanya tidak terdapat reaksi. Mungkin terjadi demam ringan dan sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah penyuntikan, atau pembengkakan pada tempat penyuntikan. Efek samping :sangat jarang, mungkin dapat terjadi kejang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke 10-12 setelah penyuntikan. Dapat terjadi radang otak 30 hari setelah penyuntikan tapi angka kejadiannya sangat rendah.
Kontra Indikasi         :sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan, kurang gizi dalam derajat berat, gangguan kekebalan, penyakit keganasan. Dihindari pula pemberian pada ibu hamil (Probandari, 2013).

5. Vaksin Hepatitis B
Imunisasi aktif dilakukan dengan suntikan 3 kali dengan jarak waktu satu bulan antara suntikan 1 dan 2, lima bulan antara suntikan 2 dan 3. Namun cara pemberian imunisasi tersebut dapat berbeda tergantung pabrik pembuat vaksin. Vaksin hepatitis B dapat diberikan pada ibu hamil dengan aman dan tidak membahayakan janin, bahkan akan membekali janin dengan kekebalan sampai berumur beberapa bulan setelah lahir.
Reaksi imunisasi          :nyeri pada tempat suntikan, yang mungkin disertai rasa panas atau pembengkakan. Akan menghilang dalam 2 hari.
Dosis                           :0.5 ml sebanyak 3 kali pemberian
Kemasan                     :HB PID
Efek samping              :selama 10 tahun belum dilaporkan ada efek samping yang berarti
Indikasi kontra            :anak yang sakit berat (Probandari,2013).



6. Vaksin DPT/ HB (COMBO)
Imunisasi penting untuk mencegah penyakit berbahaya salah satunya adalah imunisasi DPT (Diphteria, Pertussis, Tetanus). Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis dan tetanus (A. Aziz, dikutip dalam jurnal LPPM ASKES, 2012).
Dosis                           :0.5 ml sebanyak 3 kali
Kemasan                     Vial 5 ml
Efek samping                :gejala yang bersifat sementara seoerti lemas, demam, pembengkakan dan kemerahan daerah suntikan. Kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas, meracau yang terjadi 24 jam setelah imunisasi. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang dalam 2 hari
Kontra indikasi           :gejala keabnormalan otak pada bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan pada saraf yang merupakan kontraindikasi pertusis, hipersensitif terhadap komponen vaksin, penderia infeksi berat yang disertai kejang (Probandari, 2013).

Pengelolaan Vaksin
Vaksin harus dikelola dengan baik, baik dalam penyimpanan maupun saat transportasi ke tempat lain, supaya tetap memiliki potensi yang baik (imunogenisitas tinggi). Perlu diketahui, bahwa vaksin adalah produk biologis yang sentitif terhadap perubahan suhu. Ada vaksin yang sensitif terhadap panas misalnya vaksin polio, campak dan BCG. Ada vaksin yang sensitif terhadap pembekuan misalnya vaksin heparitis B, DPT, TT dan DT. Namun secara umum, semua vaksin akan rusak bila terpapar suhu panas, namun vaksin polio, campak dan BCG akan lebih mudah rusak pada paparan panas bila dibanding vaksin hepatitis B, DPT, DT dan TT. Setiap unit pelayanan diharuskan memiliki tempat penyimpanan vaksin. Demikian juga dalam pendistribusiannya penting untuk diperhatikan. Faktor yang dapat merusak vaksin antara lain sinar matahari, suhu dan kelembaban. Efektifitas vaksin di Indonesia selalu dimonitor oleh badan POM dengan mengambil sampel secara acak, atau dengan alat Vaccine Vial Monitor/ VVM, yaitu sejenis stiker yang ditempelkan pada botol vaksin. Bila vaksin rusak maka VVM akan berubah warna, namun karena mahal, belum semua vaksin ditempel VVM (Probandari, 2013).

C.    Program Imunisasi di Indonesia
                        Indonesia, program imunisasi diatur oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pemerintah, bertanggungjawab menetapkan sasaran jumlah penerima imunisasi, kelompok umur serta tatacara memberikan vaksin pada sasaran. Pelaksaan program imunisasi dilakukan oleh unit pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta. Institusi swasta dapat memberikan pelayanan imunisasi sepanjang memenuhi persyaratan perijinan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, Di Indonesia pelayanan imunisasi dasar/ imunisasi rutin dapat diperoleh pada :
1)            Pusat pelayanan yang dimiliki oleh pemerintah, seperti Puskesmas, Posyandu, Puskesmas pembantu, Rumah Sakit atau Rumah Bersalin
2)            Pelayanan di luar gedung, namun diselenggarakan oleh pemerintah misalnya pada saat diselenggarakan program Bulan Imunisasi Anak Sekolah, pekan Imunisasi Nasional, atau melalui kunjungan dari rumah ke rumah.
3)            Imunisasi rutin juga dapat diperoleh pada bidan praktik swasta, dokter praktik swasta atau rumah sakit swasta.

Dasar hukum penyelenggaraan program imunisasi :
a.             Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
b.            Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
c.             Undang-undang No. 1 tahun 1962 tentang Karantina Laut.
b.            Undang-undang No. 2 tahun 1962 tentang Karantina Udara.
c.             Keputusan Menkes No. 1611/Menkes/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi.
d.           Keputusan Menkes No. 1626/ Menkes/SK/XII/2005 tentang Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) (Probandari, 2002).

Sasaran imunisasi di Indonesia dapat dijabarkan :
A.    Program imunisasi
Imunisasi dilakukan di seluruh kelurahan di wilayah Indonesia. Imunisasi rutin diberikan kepada bayi di bawah umur satu tahun, wanita usia subur, yaitu wanita berusia 15 hingga 39 tahun termasuk ibu hamil dan calon pengantin. Imunisasi pada bayi disebut dengan imunisasi dasar, sedangkan imunisasi pada anak usia sekolah dasar dan wanita usia subur disebut dengan imunisasi lanjutan. Vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin meliputi, pada bayi: hepatitis B, BCG, Polio, DPT, dan campak. Pada usia anak sekolah: DT (Difteri Tetanus), campak dan Tetanus Toksoid. Pada imunisasi terhadap wanita usia subur diberikan Tetanus Toksoid. Pada kejadian wabah penyakit tertentu di suatu wilayah dan waktu tertentu maka Imunisasi tambahan akan diberikan bila diperlukan. Imunisasi tambahan diberikan kepada bayi dan anak. Imunisasi tambahan sering dilakukan misalnya ketika terjadi suatu wabah penyakit tertentu dalam wilayah dan waktu tertentu misalnya, pemberian polio pada Pekan Imunisasi Nasional (PIN) dan pemberian imunisasi campak pada anak sekolah(Probandari, 2002)..
B.     Program imunisasi Meningitis Meningokus
Seluruh calon/jemaah haji dan umroh, petugas Panitia Penyelenggaraan Ibadah Haji (PPIH) di Arab Saudi, Tim Kesehatan Haji Indonesia yang bertugas menyertai jemaah (kloter) dan petugas kesehatan di embarkasi/ debarkasi.
C.     Program imunisasi Demam Kuning
Semua orang yang melakukan perjalanan kecuali bayi dibawah 9 bulan dan ibu hamil trimester pertama, berasal dari negara atau ke negara yang dinyatakan endemis demam kuning (data negara endemis dikeluarkan oleh WHO yang selalu di update).
D.     Program imunisasi Rabies
Sasaran vaksinasi ditujukan pada 100% kasus gigitan yang berindikasi rabies, terutama pada lokasi tertular (selama 2 tahun terakhir pernah ada kasus klinis, epidemiologis, dan laboratoris dan desa-desa sekitarnya dalam radius 10 km).

 Kebijakan dan Strategi:
a.         Program Imunisasi
1) Kebijakan
·         Penyelenggaraan imunisasi dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, dengan mempertahankan prinsip keterpaduan antara pihak terkait
·         Mengupayakan pemerataan jangkauan pelayanan imunisasi baik terhadap sasaran masyarakat maupun sasaran wilayah
·         Mengupayakan kualitas pelayanan yang bermutu
·         Mengupayakan kesinambungan penyelenggaraan melalui perencanaan program dan anggaran terpadu
·         Perhatian khusus diberikan pada wilayah rawan sosial, rawan penyakit (KLB) dan daerah-daerah sulit secara geografis
2) Strategi
·         Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat
·         Membangun kemitraan dan jejaring kerja
·         Menjamin ketersediaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin da alat suntik
·         Menerapkan sistem Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) untuk menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan
·         Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
·         Pelaksanaa sesuai standar
·         Memanfaatkan perkembangan metoda dan teknologi yang lebih efektif, berkualitas dan efisien
·         Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan

b.      Program imunisasi Meningitis Meningokokus
Sesuai International Health regulation setiap calon jemaah haji harus sudah diimunisasi Meningitis Meningokokus, dengan dibuktikan International Certificate of Vaccination (ICV) yang berlaku maksimal 2 tahun. Kekebalan terjadi 2 minggu setelah penyuntikan.

c.    Program imunisasi demam kuning
Sesuai International Health Regulation setiap orang yang masuk Indonesia berasal atau melewati daerah diduga terjangkit demam kuning serta daerah terjangkit telah diimunisasi demam kuning, yang dibuktikan dengan International Certificate of Vaccination (ICV) yang berlaku, masa berlaku 10 tahun. Kekebalan terjadi 10 hari setelah penyuntikan.

d.      Program imunisasi Rabies
1)   Vaksin anti rabies (VAR) manusia diberikan pada seluruh kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) yang berindikasi, sehingga kemungkinan kematian akibat rabies dapat dicegah
2)   Pemberdayaan Puskesmas dalam penatalaksanaan kasus gigian yaitu cuci setiap luka gigitan akibat digigit hewan penular rabies dengan menggunakan sabun/ detergen selama 10-15 menit pada air mengalir, kemudian dibilas dengan alkohol atau betadine.

Negara Indonesia, untuk pelayanan kesehatan pemerintah, vaksin yang termasuk dalam program imunisasi dasar diberikan secara gratis, kadang-kadang di beberapa unit pelayanan kesehatan hanya membayar kartu masuk puskesmas atau rumah sakit tergantung pada kebijakan daerah. Vaksin yang termasuk program imunisasi dasar adalah: Hepatitis B, Diptheri, Pertusis, Tetanus, polio, BCG dan vaksin campak. Untuk vaksin yang tidak termasuk program imunisasi dasar, seperti HiB, Pneumoni, MMR maka harus membayar vaksin yang diberikan. Untuk pelayanan swasta, bila vaksin bukan berasal dari vaksin pemerintah maka yang bersangkutan harus membayar biaya vaksin dan konsultasi pada pihak swasta(Probandari, 2002).
Menurut Wahab (2002),  imunisasi yang diwajibkan di Indonesia :
1.      BCG
2.      Hepatitis B
3.      DPT
4.      Polio
5.      Campak

Sedangkan imunisasi yang dianjurkan di Indonesia antara lain:
1.      MMR (Measles, Mumps, Rubela) : memberi kekebalan aktif terhadap campak, gondok dan rubela
2.      Hib (Haemophilus influenza tipe B) : memberi kekebalan terhadap bakteri Hib yang dapat menyebabkan meningitis
3.      Varisela: memberi kekebalan aktif terhadap cacar air
4.      Hepatitis A : memberi kekebalan secara simultan terhadap infeksi virus hepatitis A
5.      Demam tipoid: memberi kekebalan aktif terhadap penyakit demam tipoid


1 komentar: